Hai, perkenalkan. Nama saya tuhan, dengan t kecil tentunya. Bukan Tuhan, atau TUHAN. Saya hanya
tuhan, dengan t kecil. Jika Tuhan itu
Esa, saya juga satu. Karena di dunia ini, saya : tuhan,
dengan t kecil hanya satu. Bedanya disini, Tuhan tidak menjelma dalam tubuh
laki-laki atau perempuan, tapi saya : tuhan,
dengan t kecil senang menjelma sebagai seorang perempuan. Di tubuh seorang
perempuan.
Sudah dua puluh enam kali lebih bumi berevolusi, saya : tuhan , dengan t kecil mendiami tubuh
seorang perempuan. Waktu yang tersisa memang tinggal seputaran lagi, yang merupakan
kesempatan terakhir saya mendiami tubuh perempuan ini. Saya menyukai perempuan
ini, karena dia cocok dengan saya. Dari segi fisik, dia hampir mirip dengan
saya, tidak terlalu tinggi, cenderung pendek (yang memudahkan saya tidak
berjinjit-jinjit ketika memasuki tubuhnya) dan yang terpenting lagi : Hatinya.
Hatinya hitam busuk. Jauh sebelum saya menjelma di dalam tubuhnya, hatinya
sudah hitam membusuk dan dipenuhi belatung dan bernanah. Indah sekali. Belum
pernah saya : tuhan, dengan t kecil melihat
hati yang begitu busuk dan menyengat baunya seperti ini. Tidak bisa saya
pungkiri, bahwa dia, perempuan ini merupakan hal terindah yang pernah ada di
dalam kehidupan saya : tuhan, dengan t kecil
yang tidak pernah mati, kecuali darah saya teraliri air hujan. Ya. Hujan.
Tapi, dia separuh jiwa saya. Dia tidak pernah membiarkan saya kehujanan, karena
dia sangat tahu saya akan mati karena hal (sekecil) itu. Tapi, perempuan ini
juga tidak pernah menolak ketika saya ajak untuk menghujani olokan kepada orang
lain lewat social media, bahkan dia sendiri yang memberikan kekuatan pada saya
untuk banyak menyindir dan memaki orang lewat tulisan-tulisannya dengan muka
(yang sangat) innocent. Ah, Tuhan. Saya : tuhan,
dengan t kecil sangat mencintainya. Sangat.
Saya : tuhan, dengan t
kecil memang tidak bisa menciptakan manusia, tidak bisa memunculkan
pelangi, tidak bisa hidup tanpa makan, tidak bisa tanpa tidur, saya seperti
manusia, menyerupai manusia, menjelma dalam tubuh manusia, perempuan ini. Hebatnya,
kami, saya : tuhan, dengan t kecil dan
perempuan ini tidak pernah salah. Tidak pernah merasa salah. Kalau kami salah,
berarti bukan salah kami. Itu salah orang yang menyalahkan kami. Hebatnya,
dengan perempuan ini saya semakin merasa kuat, karena tanpa saya sadari malah
perempuan ini yang sepertinya sedang merasuki saya. Ajaib. Saya : tuhan, dengan t kecil semakin takluk
dengannya.
Pernah suatu ketika, saya : tuhan, dengan t kecil ,dipaksa perempuan ini untuk meniru. Saya paham,
dia ini memang sangat pintar meniru, terobsesi oleh sesuatu. Padahal, saya : tuhan, dengan t kecil tidak bisa cara
meniru. Dia, perempuan saya ini dengan sabar mengajari saya. Cara tersenyum, cara
menulis di blog dan social media, cara berbicara, buku-buku yang dibaca, melakoni
pekerjaan orang lain, sampai hebatnya lagi dia mengajari saya bagaimana cara mendekati
orang yang sedang dekat dengan orang lain, dengan capernya yang klise
menanyakan hal-hal tidak penting, dengan caranya menuduh oranglain insecure, dengan
caranya memutarbalikkan fakta. Hebat. Saya : tuhan, dengan t kecil semakin tambah suka dengan perempuan ini.
Oh iya, belum saya ceritakan juga kalau dia, perempuan saya
ini sangat hebat bermain peran. Saya hampir menangis terharu dan standing applause kalau dia, perempuan
saya ini berada sesungguhnya atas panggung. Dia bermuka banyak, bukan hanya
dua. Kurang lebih seperti Dasamuka, lebih malahan. Kami, saya : tuhan, dengan t kecil dan perempuan ini
sangat kompak mencitrakan diri kami. Ketika keadaan seperti ini, kami harus
seperti ini. Ketika keadaan seperti itu, kami langsung seperti itu. Hebatnya
kami.
Tak terasa, seputaran matahari sudah kami, saya : tuhan, dengan t kecil dan perempuan ini lewati
bersama. Ini malam terakhir saya : tuhan,
dengan t kecil menjelma merasuki tubuhnya, perempuan ini. Besok, saya harus
pergi dari tubuhnya, selamanya. Tapi, saya yakin dia sudah menjadi saya : tuhan, dengan t kecil yang sesungguhnya,
lebih kuat, lebih tidak bisa salah, lebih bermuka banyak, lebih, lebih, dan
lebih busuk hatinya. Saya mencintainya. Sangat. Saya juga yakin dia sangat
mencintai saya : tuhan, dengan t kecil .Perpisahan
ini akan sangat berat bagi saya. Karena, dari jutaan manusia yang pernah saya hinggapi,
dia yang sekiranya bisa membuat saya merasa dirasuki. Sore ini, setelah hujan
reda, kami berada di atap rumahnya, dengan meja kecil, botol anggur, gelas
bertangkai, dan kursi-kursi kecil. Dia, perempuan saya bilang : “Ini farewell party, kita akan minum sampai mabuk
sampai besok pagi, sampai kamu meninggalkanku. Keluarlah dari tubuhku sebentar,
aku ingin menggenggam tanganmu”. Sayapun mengangguk. Dia menuangkan air dari botol
anggur ke dalam gelas kecil bertangkai di hadapan saya, menuangkannya juga ke
dalam gelas kecil bertangkai miliknya. Menatap saya, mendongakkan kepalanya
sedikit seakan menyuruh saya mengambil gelas kecil di hadapan saya. Saya
mengambilnya, dia juga mengambil gelasnya. Dia menggumam : “Untuk kita, Sayang?”.
Gelas kami terangkat, berdenting nyaring ketika gelas saya bersentuhan dengan
gelasnya. Sedetik sebelum saya tenggak minuman itu, saya melihat senyumnya.
Senyum yang belum pernah saya lihat. Senyum yang membuat saya merasa sedih,
takut dan terpojok. Senyum yang tak bisa saya : tuhan, dengan t kecil lupakan selamanya. Senyum yang membuat
jantung saya berhenti berdetak. Kepala saya pening, mata saya berat, sinar senja
remang-remang saya lihat menjauh, terasa dingin di seluruh tubuh saya, mungkin
sudah malam, pikir saya. Tapi, lamat lamat kudengar suara perempuan saya itu,
dia berkata : “Dasar kau tuhan, dengan t kecil
bodoh! Mau saja kujadikan kambing hitam”. Saya pikir saya bermimpi, dia
tidak akan sekejam itu, tidak dengan saya. Tapi, saya rasakan tubuh saya semakin
dingin dan semakin ringan, saya tahu saya sudah mati.
Saya : tuhan, dengan t kecil yang menjelma di
tubuh seorang perempuan. Bukan. Dia bukan perempuan. Dia iblis.
No comments:
Post a Comment