Sayang,
Ketika aku menulis surat ini, aku dalam keadaan baik-baik
saja, sehat, dan masih sangat mencintaimu. Yang terakhir tadi itu sepertinya
tidak akan bisa berubah, kau tahu itu, kurasa. Hai, apa kabarmu? Sebuah kalimat
basa basi ya kan? Aku ingin menyapamu lewat surat ini karena aku hanya ingin
mengatakan bahwa aku merindukanmu, seperti rindu-rindu kita dari awal yang
dijadikan satu, dan kita paksa masukkan ke dalam kotak rindu kita. Eh, masih
ingatkah kau dengan cerita serbuk rindu dan kotak ajaib?'
Dahulu kala, ada sepasang kekasih yang sangat mencintai. Mereka
sangat mabuk cinta sampai ketika sedetikpun harus berpisah mereka merasakan itu
bagaikan berminggu-minggu. Namun, pada suatu ketika, sang lelaki harus
meninggalkan sang perempuan karena harus berperang. Dengan berat hati, mereka
saling mengikhlaskan dan berjanji akan saling menabung rindu. Ajaibnya,
rindu-rindu mereka berupa serbuk yang berkilauan. Maka, sang lelaki membuatkan
dua buah kotak rindu dari akar rotan yang menggelantung di tengah lapangan
desa. Konon, ketika akar rotan itu dicelupkan dalam mata air yang ada di ujung
desa, akar rotan itu akan sangat kuat dan sangat - sangat kuat sampai butuh
sekitar sepuluh orang lelaki dewasa menghancurkannya. Ketika kotak rindu itu
dibuat, sang perempuanpun membuat pengikat untuk mengikat tutup kotak rindu itu
dari benang yang berwarna putih tulang. Setelah dua hari dibuat, kotak rindu
itu jadilah, sudah dicelup di mata air, dan sudah diberi pengikat. Dibagilah
masing-masing satu kotak. Yang satu untuk sang perempuan, yang satunya lagi
untuk sang lelaki.
Petang nanti sang lelaki harus pergi. Sang perempuan tidak
kuasa menahan tangis sampai hampir pingsan. Mereka berpelukan hingga sang senja
menghilang di balik bukit. Sang lelaki membisikkan kata “Tabunglah rindumu,
Sayang. Akupun juga. Hingga nanti aku pulang, kita akan membuatnya jadi satu.
Dan tak akan pernah terpisah lagi.” Kemudian sang lelaki mengecup kening sang
perempuan. Hingga tangan mereka terlepas, sang perempuan sudah terduduk dan tergugu
menatap punggung sang lelaki yang semakin jauh dan akhirnya menghilang.
Sang perempuan menghitung, “Sudah 127 kali senja datang dan
menghilang, namun kenapa Kamu belum juga mengecup keningku, Sayang”. Dan sang
lelaki belum juga pulang.
Dan akhirnya, ini malam ke 1.799.
Semua warga di desa meyakini kalau sang lelaki pasti sudah
mati di peperangan. Tapi, tidak bagi sang perempuan.
Dia terus menunggu, sampai kotak rindunya tak bisa menampung
serbuk rindunya. Sampai misal setiap orang datang, pasti akan bersin karena
sekarang rumahnya hampir semua ruangan dipenuhi serbuk rindu.
Suatu senja, sang perempuan itu seperti biasa duduk di depan
rumahnya. Menjalin rambutnya hingga berkepang-kepang. Tiba-tiba jantungnya
bergedup kencang, dia merasa takut. Tapi, tanpa dia sadari, dari balik senja,
muncullah seorang lelaki, langkahnya terseok-seok. Seperti berat menyeret
sesuatu. Sang perempuan bangun dari duduknya, hampir pingsan, menangis
sebentar, lalu tertawa. Berlari menyongsong sang lelaki yang bayangan kepalanya
sudah bisa dia sentuh. Dia berlari dan tertawa seperti orang gila. Tapi, tidak
ada yang mengerti perasaannya sekarang. Dia hanya bahagia. Semakin dekat sang
lelaki itu, semakin dekat dan mereka berpelukan dalam tangis. Tanpa
berkata-kata. Hanya tangis dan tertawa. Ditengoknya barang yang dibawa sang
lelaki, tumpukan serbuk rindu yang dia jalin sepanjang perjalanannya.
Sepanjang 1.800 malam jika ditempuh
dengan berjalan, sepanjang itu rindunya. Sang perempuan tambah tergugu, semakin
erat memeluk sang lelaki.
Begitukah ceritanya, Suamiku? Atau kamu punya versi lainnya?
Bagikan kepadaku..
No comments:
Post a Comment