Wednesday, January 22, 2014

Serbuk Rindu

Sayang,

Ketika aku menulis surat ini, aku dalam keadaan baik-baik saja, sehat, dan masih sangat mencintaimu. Yang terakhir tadi itu sepertinya tidak akan bisa berubah, kau tahu itu, kurasa. Hai, apa kabarmu? Sebuah kalimat basa basi ya kan? Aku ingin menyapamu lewat surat ini karena aku hanya ingin mengatakan bahwa aku merindukanmu, seperti rindu-rindu kita dari awal yang dijadikan satu, dan kita paksa masukkan ke dalam kotak rindu kita. Eh, masih ingatkah kau dengan cerita serbuk rindu dan kotak ajaib?'

Dahulu kala, ada sepasang kekasih yang sangat mencintai. Mereka sangat mabuk cinta sampai ketika sedetikpun harus berpisah mereka merasakan itu bagaikan berminggu-minggu. Namun, pada suatu ketika, sang lelaki harus meninggalkan sang perempuan karena harus berperang. Dengan berat hati, mereka saling mengikhlaskan dan berjanji akan saling menabung rindu. Ajaibnya, rindu-rindu mereka berupa serbuk yang berkilauan. Maka, sang lelaki membuatkan dua buah kotak rindu dari akar rotan yang menggelantung di tengah lapangan desa. Konon, ketika akar rotan itu dicelupkan dalam mata air yang ada di ujung desa, akar rotan itu akan sangat kuat dan sangat - sangat kuat sampai butuh sekitar sepuluh orang lelaki dewasa menghancurkannya. Ketika kotak rindu itu dibuat, sang perempuanpun membuat pengikat untuk mengikat tutup kotak rindu itu dari benang yang berwarna putih tulang. Setelah dua hari dibuat, kotak rindu itu jadilah, sudah dicelup di mata air, dan sudah diberi pengikat. Dibagilah masing-masing satu kotak. Yang satu untuk sang perempuan, yang satunya lagi untuk sang lelaki.

Petang nanti sang lelaki harus pergi. Sang perempuan tidak kuasa menahan tangis sampai hampir pingsan. Mereka berpelukan hingga sang senja menghilang di balik bukit. Sang lelaki membisikkan kata “Tabunglah rindumu, Sayang. Akupun juga. Hingga nanti aku pulang, kita akan membuatnya jadi satu. Dan tak akan pernah terpisah lagi.” Kemudian sang lelaki mengecup kening sang perempuan. Hingga tangan mereka terlepas, sang perempuan sudah terduduk dan tergugu menatap punggung sang lelaki yang semakin jauh dan akhirnya menghilang.

Sang perempuan menghitung, “Sudah 127 kali senja datang dan menghilang, namun kenapa Kamu belum juga mengecup keningku, Sayang”. Dan sang lelaki belum juga pulang.

Dan akhirnya, ini malam ke 1.799. 

Semua warga di desa meyakini kalau sang lelaki pasti sudah mati di peperangan. Tapi, tidak bagi sang perempuan.

Dia terus menunggu, sampai kotak rindunya tak bisa menampung serbuk rindunya. Sampai misal setiap orang datang, pasti akan bersin karena sekarang rumahnya hampir semua ruangan dipenuhi serbuk rindu.

Suatu senja, sang perempuan itu seperti biasa duduk di depan rumahnya. Menjalin rambutnya hingga berkepang-kepang. Tiba-tiba jantungnya bergedup kencang, dia merasa takut. Tapi, tanpa dia sadari, dari balik senja, muncullah seorang lelaki, langkahnya terseok-seok. Seperti berat menyeret sesuatu. Sang perempuan bangun dari duduknya, hampir pingsan, menangis sebentar, lalu tertawa. Berlari menyongsong sang lelaki yang bayangan kepalanya sudah bisa dia sentuh. Dia berlari dan tertawa seperti orang gila. Tapi, tidak ada yang mengerti perasaannya sekarang. Dia hanya bahagia. Semakin dekat sang lelaki itu, semakin dekat dan mereka berpelukan dalam tangis. Tanpa berkata-kata. Hanya tangis dan tertawa. Ditengoknya barang yang dibawa sang lelaki, tumpukan serbuk rindu yang dia jalin sepanjang perjalanannya. Sepanjang  1.800 malam jika ditempuh dengan berjalan, sepanjang itu rindunya. Sang perempuan tambah tergugu, semakin erat memeluk sang lelaki.


Begitukah ceritanya, Suamiku? Atau kamu punya versi lainnya? Bagikan kepadaku..


No comments:

Post a Comment