Bakat saya adalah mengompol. Saya memang sering mengompol.
Setiap bangun tidur, kasur saya sudah dibanjiri ompol. Kasur saya pun sudah
berwarna-warni kecoklatan. Dulu, sewaktu kelas 5 SD, ibu saya memeriksakan saya
ke dokter. Kata dokter, saya bakat mengompol. Saya bertanya ke dokter kenapa
bakat saya aneh. Anak lain bisa bakat menggambar, menulis dan menyanyi. Kenapa
hanya saya yang bakat mengompol? Dokter hanya tersenyum dan menuliskan resep
untuk diminum. Nenek saya pernah meletakkan kaki capung di udel saya, katanya
agar saya tidak mengompol lagi. Tapi, yang terjadi saya malah bermimpi digigit
capung raksasa, dan pagi harinya tetap mengompol. Pernah saya jam 2 pagi
dibangunkan untuk pipis, pagi harinya tetap banjir. Sudah bermacam-macam ramuan
dibuatkan oleh nenek saya, ada buah jamblang yang dicampur garam, ada adas
pulasari yang dicampur gula jawa, telur ayam kampung sampai tulang cumi. Pernah
didatangkan tukang pijat, bernama Mbah Hasim. Beliau tukang pijat khusus bayi.
Dicobalah mengurut perut sampai atas kandung kemih saya. Awalnya saya merasa
enakan, tapi bangun pagi saya tetap mengompol.
Bakat ini adalah bakat yang membuat saya tidak pernah mau
menerima ajakan teman saya untuk menginap. Yang membuat saya tidak bisa tidur
saat ikut Persami di sekolahan. Karena saya malu kalau diejek sudah besar masih
mengompol. Kakak saya dan adik saya tidak mempunyai bakat ini, sehingga ketika
mereka diajak Om dan Tante berlibur ke Jakarta melihat Dufan dan Sea World,
mereka sangat senang, dan saya tidak. Sekalipun mereka menawarkan saya pampers,
saya tidak pernah ikut.
Saya juga tidak tahu kenapa. Padahal mimpi saya berbeda
beda. Kadang mimpi bertemu Dian Sastro di saat hujan, kadang mimpi bermain ke
pantai, kadang mimpi minum kopi, kadang mimpi main lompat-lompat sampai
berkeringat, kadang mimpi berenang. Tapi, setiap bangun, saya mengompol. Saya
sampai heran, padahal saya rajin pipis dulu sebelum tidur. Saya tidak minum air
banyak-banyak, saya berkonsentrasi untuk tidak mengompol, tapi akhirnya kasur
saya tetap pesing karena ompol saya.
Saya mengencani seorang pria yang tidak tahu bakat ajaib
saya ini. Hingga akhirnya dia melamar saya, saya takut. Bukan karena saya tidak
mencintainya, tapi takut akhirnya nanti setiap pagi saya akan mengompolinya.
Tapi, rasa cintanya menguatkan saya untuk mengatakan ya. Akhirnya kami akan
menikah. Saya masih dilanda kebingungan. Dua hari menjelang kami menikah, saya beranikan
diri memberitahunya tentang bakat saya ini. Ternyata diluar dugaan saya, dia
tidak memberikan ekspresi apapun. Tidak sedih, tidak senang. Ekspresi datar.
Saya bingung. Lalu saya tanya, apa dia mau melanjutkan menikahi saya. Dia
berubah ekspresi. Tersenyum, manis sekali. Mengecup kening saya dan berpamitan
pulang. Baru sekali ini saya dikecup kening oleh lelaki. Deg-degan. Senang tapi
takut dimarahi ibu. Ah, sudahlah. Toh, dua hari lagi saya dinikahi.
Paginya, saya tidak mengompol!!! Ah, saya kejap-kejapkan
mata saya, mungkin saya bermimpi. Tapi tidak. Saya cubit lengan saya, sakit.
Tidak mimpi. Hampir berteriak dan melompat dari kasur saya bilang saya tidak
mengompol! “Horeee… Saya sudah tidak mengompol !!!”. Saya ciumi kasur saya, memang pesing bekas ompolan saya dulu, tapi malam
ini saya tidak mengompol. Saya mencari ibu dan nenek, ingin memberi tahu kabar
gembira ini. Di dapur sudah sibuk ibu-ibu tetangga membuat lemper dan wajik, di
depan rumah sibuk bapak-bapak menata tenda dan kursi untuk pengajian. “Ibu….
Neneek…” Saya cari mereka. “Ibu… Neneek…”. Sayup-sayup saya mendengar suara ibu
menjawab, di kamar depan ternyata, sedang menata kamar pengantin dan menjelujur
kebaya saya yang kebesaran. Saya buka pintu, dan setengah berteriak saya menceritakan
kejadian pagi ini. Menggebu-gebu saya bilang kalau saya sudah tidak mengompol.
Ibu dan nenek hanya saling berpandangan tersenyum. Saya hampir marah, karena
mereka tidak menanggapi cerita saya. Saya hampir menangis karena mereka hanya
tersenyum dan tertawa-tawa geli. “Jangan tertawa, kenapa kalian memperolokku”, kata
saya dengan terisak-isak. Akhirnya ibu dan nenek mendekati saya yang terduduk hampir
menangis di kursi rias. Ibu tersenyum berkata, “Kamu sangat mencintainya ya?”,
sambil menjentikkan telunjuknya di dahi saya. Saya hanya memandangi Ibu, mengerutkan
dahi, merekam kata-kata Ibu dan mengirimkan ke otak. Oooalaahh... jadi selama ini.... saya baru paham.
Tersenyum. Tersipu.
Wonosobo, 28 Januari 2014. fiksi
No comments:
Post a Comment