Di suatu café di area outdoor suatu mall di Yogyakarta terlihat empat
pria setengah baya duduk-duduk bercengkrama.
“Anak saya yang bungsu tidak pernah
mau belajar, katanya bosen di sekolah. Eh, ujian ranking satu. Test online PSB
kemarin juga peringkat satu, masuk SMA Satu”, kata seorang pria.
“Anak saya juga, yang sekarang
kuliah, yang nomer dua itu, dulu hobinya di kamar. Baca buku, ngenet, sampai
temannya aja bisa diitung pake jari. Tapi juga hobi telat, mengkritisi guru
sama sekolahan, tapi sekarang.. udah sampe Jepang. Gratis lagi. Bapaknya aja cuma
bisa ngimpi, hahaha”, kelakar pria kedua.
“Eh, lha katanya anakmu juga kerja
di Bank Republik Indonesia, kan? Dulu anakku juga kerja disana, gak betah
soalnya katanya di lapangan. Tapi seneng ya, posisinya kalo di kantornya bank
itu pasti enak. Duduk-duduk di kantor ber-AC, gak kepanasan, gajinya pasti juta
jutaan tuh, belum lagi bonus-bonus. Waah, bapaknya tinggal ongkang-ongkang1
nih.”, sahut pria ketiga.
“Hahaha… Kerja di bank kan gak
semua orang bisa, dia masuk aja harus saingan sama 500 orang, cuma diambil 10. Eeee…Lha,
anakmu juga to.. sekarang udah jadi pegawai negeri. Nurun bapaknya tuh. Padahal
dulu sekolahnya kesehatan ya, hebat bisa diterima jadi Camat. Kapan nih, nikahnya?
Gak keburu pingin nggendong cucu?”, pria keempat menyahut sambil meneguk gelas
berisi soda gembiranya.
Perbincangan menjadi ngalor-ngidul2.
Masalah istri yang hobi belanja, pembantu yang mudik, banjir di Jakarta, Jokowi
yang digadang-gadang jadi calon Presiden, sampai acara YKS yang dianggap gak
ada manfaatnya. Di meja bundar tempat mereka saling berhadapan, sudah banyak puntung
rokok dan bungkus berserakan, ada rokok LA, rokok Class Mild sampai Djarum. Di
tengah perbincangan mereka, tiba-tiba terdengar ringtone HP salah satu pria itu
berbunyi. Golden leaves looked brown to
me, the world had less color without you, shapes in the sky…
”Halo… iya, gimana? Bapak jemput
sebentar lagi. Iya, ini mau berangkat. Ya… Ya, ditunggu bentar. Jangan
kemana-mana”. Pria itu menghela nafas, meraih rokok dan korek dimasukkan ke
dalam tas kecil dan segera beranjak dari kursinya,
“Aku pergi dulu ya, biasa, si anak..
minta dijemput les drum. Baru latihan 2 kali aja udah bisa lagunya Kotak yang
rock itu. Komplit 1 lagu. Bapaknya nggebuki3 kasur aja deh, hahahaha…”
selorohnya.
Lantas pria itu bersalaman dengan ketiganya, langkahnya terlihat agak
terburu-buru menghampiri mobilnya. Setelah punggung mobil pria itu tidak
terlihat di belokan ujung sebuah toko, si pria satunya pindah tempat duduk di
tempat duduk pria yang sudah pergi tadi. Memulai lagi pembicaraan sambil
menghisap rokok LA-nya dalam-dalam,
“Anaknya jadi Camat karena dia jual
tanah di Salaman, laku 500 juta. Aku sempat ditawari tanahnya kok, pinggir
jalan lho, harusnya sih bisa laku 800juta lebih. Dianya aja kesusu4,
nglobi orang BKD yang suka bawa-bawa orang. Coba ngomong sama aku, kan gak
semahal itu, aku bantu lah. Gini-gini kan bekas kepercayaan Bupati. Lha masa
anaknya yang kesehatan disuruh jadi Camat, ya aneh to”. Ceritanya semakin
panjang dan menggebu-gebu. Dua pria yang disampingnya menyimak dengan seksama
dan hanya manggut-manggut sambil sesekali menyeringai.
“Coba deh bayangin, kalo si anak
pingin buka praktek dokter atau bikin apotek, kan malah sesuai to. Kalau aku
sih, pinginnya anak aja deh gimana, orangtua kan tinggal mendoakan aja biar
anak-anak bejo5. Pinter bisa di-tlateni6, kalo bejo5?
Selain garis tangan, yaaa… doa orang tua juga”. Tangannya menggapai asbak
yang agak jauh dari jangkauannya, ditekan ujung rokok yang tinggal dua-tiga
hisapan itu di dalam asbak sampai nyala apinya mati.
“Aku pergi dulu Mas, udah mau sore
nih, pamitnya aku cuci mobil. Nanti pulang belum bersih, dikira mampir-mampir
malah repot”.
Tinggal dua orang pria disana. Pria satu bangkit dari duduknya dan
mengambil Teh Botol Sosro di mesin pendingin yang tidak jauh dari tempat
duduknya. Dua botol digenggam di tangan kanan, tangan kirinya sibuk
memencet-mencet HP Smartphone miliknya. Dia kemudian menaruh botol teh di depan
temannya itu, terdengar si temannya menggerutu,
“Ah, si Kampret kebanyakan omong.
Kemaki7. Lha wong anak wedoknya aja tiap pulang kantor nangis kok,
minta keluar, kalo di bank kan pulangnya malem, belum lagi underpressure8
banget. Kalo pegawai tetap si masih mending, lha ini masih kontrak. Masih aja
di-bully9 secara emosional biar tetep disana”.
”Kok tahu, Mas?”, sahut pria
satunya.
“Yo jelas tahu, keponakanku, si
Aren, putranya mbakku, mbak Gendhis yang rumahnya di Taman Siswa itu, inget? Kan
pacaran sama anaknya itu. Apa dia gak kasihan anaknya? Gak mikir kali ya?”.
Si pria satunya menggumam perlahan, “Prestise10,
paling”.
Keduanya sempat terdiam beberapa saat, terhanyut dalam lamunan
masing-masing. Tiba-tiba, hujan turun tanpa permisi. Keduanya langsung lari
menepi ke tempat kasir yang ada kanopi, cukup untuk berteduh. Setelah membayar,
mereka berpisah. Pria satunya berlari-lari kecil menuju parkiran. Pria satunya
masih berdiri disana, masih sambil memencet HPnya. Ternyata ada pesan masuk
dari pria yang pertama kali pergi meninggalkan mereka.
Anake11 Larso, yang
katanya ke Jepang itu gak dapet beasiswa gratis. Dia mbayar. Maksain anaknya ke
Jepang buat sekolah, padahal si anak pinginnya mandiri dulu, sebenernya udah
dapet tawaran juga yang ke Jerman, trus bocahe12 juga seneng, tapi
gak diambil karena yang di Jerman itu sistem kerja praktek. Dia masih mikir
kayak TKI gitu paling terus malu.
Setelah membaca pesan itu, dia termenung, pandangannya kosong, entah
seperti memandangi jalanan Jogja yang cukup lengang sore itu, atau tidak tahu
pikirannya sedang melayang kemana. Hujan sudah sedikit reda, langkahnya
pelan-pelan menuju parkiran. Masuk ke mobil dan terdiam. Cukup banyak cerita
yang dia dapat sore ini.
Dia tidak memikirkan anak-anak teman-temannya tadi, atau keegoisan
teman-temannya terhadap anak-anak mereka. Tidak. Sama sekali tidak. Yang dia
pikirkan sekarang hanya satu. Anaknya. Anaknya yang laki-laki, yang besok Senin
mengikuti Masa Orientasi Siswa di SMA Satu. SMA unggulan, almamaternya dulu. Padahal,
dia tahu dan sangat tahu bahwa anaknya ingin bersekolah di SMA Dua sejak lama.
Tiba-tiba
dia teringat kejadian saat anak laki-lakinya meminta ijin untuk sekolah di SMA Dua,
dia sangat marah, muntab13
dan mengharuskan anaknya sekolah di SMA Satu. Sampai anaknya bertanya, “Ayah, sayangkah padaku? Ini yang sebenarnya
aku inginkan. Tapi kalau ini membuat Ayah marah, maafkan aku. Baiklah, akan aku
lakukan karena aku sayang Ayah.” Dan saat itu dia hanya bisa terdiam.
“Anakku, maafkan Ayah…”. Kata-kata itu diulang-ulang sambil menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis sesenggukan.
Wonosobo, 30 Januari 2014
Wonosobo, 30 Januari 2014
Teruntuk semua ayah, ibu, orangtua yang sangat menyayangi anak-anak
mereka. Terinspirasi dari banyak sekali kisah nyata. Jika ada kesamaan nama
tokoh, tempat kejadian, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur
kesengajaan.
ongkang-ongkang1
= santai (bahasa Jawa)
ngalor-ngidul2 = kesana
kemari (bahasa Jawa)
nggebuki3=
memukul (bahasa Jawa)
kesusu4=
terburu-buru (bahasa Jawa)
bejo5=
beruntung (bahasa Jawa)
di-tlateni6=
ditekuni (bahasa Jawa)
kemaki7=
sombong, sok (bahasa jawa)
underpressure8=
di bawah tekanan (bahasa Inggris)
di-bully9=
perbuatan tak menyenangkan baik menggunakan kekerasan fisik maupun verbal
(bahasa Inggris)
Prestise10=
martabat/gengsi (bahasa Inggris)
Anake11=
anaknya (bahasa Jawa)
bocahe12=
anaknya (bahasa Jawa)
muntab13=
teramat marah /kekesalan tertumpuk (bahasa Jawa)
Wening Tyas Suminar, 2014
No comments:
Post a Comment