Thursday, January 30, 2014

Ayah (Ayah), Sayangkah padaku ?

Di suatu café di area outdoor suatu mall di Yogyakarta terlihat empat pria setengah baya duduk-duduk bercengkrama.

“Anak saya yang bungsu tidak pernah mau belajar, katanya bosen di sekolah. Eh, ujian ranking satu. Test online PSB kemarin juga peringkat satu, masuk SMA Satu”, kata seorang pria.

“Anak saya juga, yang sekarang kuliah, yang nomer dua itu, dulu hobinya di kamar. Baca buku, ngenet, sampai temannya aja bisa diitung pake jari. Tapi juga hobi telat, mengkritisi guru sama sekolahan, tapi sekarang.. udah sampe Jepang. Gratis lagi. Bapaknya aja cuma bisa ngimpi, hahaha”, kelakar pria kedua.

“Eh, lha katanya anakmu juga kerja di Bank Republik Indonesia, kan? Dulu anakku juga kerja disana, gak betah soalnya katanya di lapangan. Tapi seneng ya, posisinya kalo di kantornya bank itu pasti enak. Duduk-duduk di kantor ber-AC, gak kepanasan, gajinya pasti juta jutaan tuh, belum lagi bonus-bonus. Waah, bapaknya tinggal ongkang-ongkang1 nih.”, sahut pria ketiga.

“Hahaha… Kerja di bank kan gak semua orang bisa, dia masuk aja harus saingan sama 500 orang, cuma diambil 10. Eeee…Lha, anakmu juga to.. sekarang udah jadi pegawai negeri. Nurun bapaknya tuh. Padahal dulu sekolahnya kesehatan ya, hebat bisa diterima jadi Camat. Kapan nih, nikahnya? Gak keburu pingin nggendong cucu?”, pria keempat menyahut sambil meneguk gelas berisi soda gembiranya.

Perbincangan menjadi ngalor-ngidul2. Masalah istri yang hobi belanja, pembantu yang mudik, banjir di Jakarta, Jokowi yang digadang-gadang jadi calon Presiden, sampai acara YKS yang dianggap gak ada manfaatnya. Di meja bundar tempat mereka saling berhadapan, sudah banyak puntung rokok dan bungkus berserakan, ada rokok LA, rokok Class Mild sampai Djarum. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba terdengar ringtone HP salah satu pria itu berbunyi. Golden leaves looked brown to me, the world had less color without you, shapes in the sky…

”Halo… iya, gimana? Bapak jemput sebentar lagi. Iya, ini mau berangkat. Ya… Ya, ditunggu bentar. Jangan kemana-mana”. Pria itu menghela nafas, meraih rokok dan korek dimasukkan ke dalam tas kecil dan segera beranjak dari kursinya,

“Aku pergi dulu ya, biasa, si anak.. minta dijemput les drum. Baru latihan 2 kali aja udah bisa lagunya Kotak yang rock itu. Komplit 1 lagu. Bapaknya nggebuki3 kasur aja deh, hahahaha…” selorohnya.

Lantas pria itu bersalaman dengan ketiganya, langkahnya terlihat agak terburu-buru menghampiri mobilnya. Setelah punggung mobil pria itu tidak terlihat di belokan ujung sebuah toko, si pria satunya pindah tempat duduk di tempat duduk pria yang sudah pergi tadi. Memulai lagi pembicaraan sambil menghisap rokok LA-nya dalam-dalam,
“Anaknya jadi Camat karena dia jual tanah di Salaman, laku 500 juta. Aku sempat ditawari tanahnya kok, pinggir jalan lho, harusnya sih bisa laku 800juta lebih. Dianya aja kesusu4, nglobi orang BKD yang suka bawa-bawa orang. Coba ngomong sama aku, kan gak semahal itu, aku bantu lah. Gini-gini kan bekas kepercayaan Bupati. Lha masa anaknya yang kesehatan disuruh jadi Camat, ya aneh to”. Ceritanya semakin panjang dan menggebu-gebu. Dua pria yang disampingnya menyimak dengan seksama dan hanya manggut-manggut sambil sesekali menyeringai.

Coba deh bayangin, kalo si anak pingin buka praktek dokter atau bikin apotek, kan malah sesuai to. Kalau aku sih, pinginnya anak aja deh gimana, orangtua kan tinggal mendoakan aja biar anak-anak bejo5. Pinter bisa di-tlateni6, kalo bejo5? Selain garis tangan, yaaa… doa orang tua juga”. Tangannya menggapai asbak yang agak jauh dari jangkauannya, ditekan ujung rokok yang tinggal dua-tiga hisapan itu di dalam asbak sampai nyala apinya mati.
“Aku pergi dulu Mas, udah mau sore nih, pamitnya aku cuci mobil. Nanti pulang belum bersih, dikira mampir-mampir malah repot”.

Tinggal dua orang pria disana. Pria satu bangkit dari duduknya dan mengambil Teh Botol Sosro di mesin pendingin yang tidak jauh dari tempat duduknya. Dua botol digenggam di tangan kanan, tangan kirinya sibuk memencet-mencet HP Smartphone miliknya. Dia kemudian menaruh botol teh di depan temannya itu, terdengar si temannya menggerutu,
“Ah, si Kampret kebanyakan omong. Kemaki7. Lha wong anak wedoknya aja tiap pulang kantor nangis kok, minta keluar, kalo di bank kan pulangnya malem, belum lagi underpressure8 banget. Kalo pegawai tetap si masih mending, lha ini masih kontrak. Masih aja di-bully9 secara emosional biar tetep disana”.

”Kok tahu, Mas?”, sahut pria satunya.

“Yo jelas tahu, keponakanku, si Aren, putranya mbakku, mbak Gendhis yang rumahnya di Taman Siswa itu, inget? Kan pacaran sama anaknya itu. Apa dia gak kasihan anaknya? Gak mikir kali ya?”.

Si pria satunya menggumam perlahan, “Prestise10, paling”.

Keduanya sempat terdiam beberapa saat, terhanyut dalam lamunan masing-masing. Tiba-tiba, hujan turun tanpa permisi. Keduanya langsung lari menepi ke tempat kasir yang ada kanopi, cukup untuk berteduh. Setelah membayar, mereka berpisah. Pria satunya berlari-lari kecil menuju parkiran. Pria satunya masih berdiri disana, masih sambil memencet HPnya. Ternyata ada pesan masuk dari pria yang pertama kali pergi meninggalkan mereka.

Anake11 Larso, yang katanya ke Jepang itu gak dapet beasiswa gratis. Dia mbayar. Maksain anaknya ke Jepang buat sekolah, padahal si anak pinginnya mandiri dulu, sebenernya udah dapet tawaran juga yang ke Jerman, trus bocahe12 juga seneng, tapi gak diambil karena yang di Jerman itu sistem kerja praktek. Dia masih mikir kayak TKI gitu paling terus malu.

Setelah membaca pesan itu, dia termenung, pandangannya kosong, entah seperti memandangi jalanan Jogja yang cukup lengang sore itu, atau tidak tahu pikirannya sedang melayang kemana. Hujan sudah sedikit reda, langkahnya pelan-pelan menuju parkiran. Masuk ke mobil dan terdiam. Cukup banyak cerita yang dia dapat sore ini.

Dia tidak memikirkan anak-anak teman-temannya tadi, atau keegoisan teman-temannya terhadap anak-anak mereka. Tidak. Sama sekali tidak. Yang dia pikirkan sekarang hanya satu. Anaknya. Anaknya yang laki-laki, yang besok Senin mengikuti Masa Orientasi Siswa di SMA Satu. SMA unggulan, almamaternya dulu. Padahal, dia tahu dan sangat tahu bahwa anaknya ingin bersekolah di SMA Dua sejak lama. 

Tiba-tiba dia teringat kejadian saat anak laki-lakinya meminta ijin untuk sekolah di SMA Dua, dia sangat marah, muntab13 dan mengharuskan anaknya sekolah di SMA Satu. Sampai anaknya bertanya, “Ayah, sayangkah padaku? Ini yang sebenarnya aku inginkan. Tapi kalau ini membuat Ayah marah, maafkan aku. Baiklah, akan aku lakukan karena aku sayang Ayah.” Dan saat itu dia hanya bisa terdiam.

 “Anakku, maafkan Ayah…”. Kata-kata itu diulang-ulang sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis sesenggukan.


Wonosobo, 30 Januari 2014

Teruntuk semua ayah, ibu, orangtua yang sangat menyayangi anak-anak mereka. Terinspirasi dari banyak sekali kisah nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.



ongkang-ongkang1 = santai (bahasa Jawa)
ngalor-ngidul2 = kesana kemari (bahasa Jawa)
nggebuki3= memukul (bahasa Jawa)
kesusu4= terburu-buru (bahasa Jawa)
bejo5= beruntung (bahasa Jawa)
di-tlateni6= ditekuni (bahasa Jawa)
kemaki7= sombong, sok (bahasa jawa)
underpressure8= di bawah tekanan (bahasa Inggris)
di-bully9= perbuatan tak menyenangkan baik menggunakan kekerasan fisik maupun verbal (bahasa Inggris)
Prestise10= martabat/gengsi (bahasa Inggris)
Anake11= anaknya (bahasa Jawa)
bocahe12= anaknya (bahasa Jawa)

muntab13= teramat marah /kekesalan tertumpuk (bahasa Jawa)



Wening Tyas Suminar, 2014

No comments:

Post a Comment